Tumbilotohe Tradisi Lebaran Suku Gorontalo

 


 Tumbilotohe dikenal dalam bahasa masyarakat Gorontalo berarti sepasang lampu. Tradisi tumbilotohe adalah adat istiadat atau kebiasaan pasang lampu pada tanggal ganjil bulan ramadhan dalam menyongsong lailatul qadar yang menandakan berakhirnya Ramadan, tepatnya tiga hari sebelum malam lebaran pada tanggal 27 Ramadhan di Provinsi Gorontalo. Tradisi pasang lampu dengan niat menyongsong datangnya lailatulqadar, karena cahaya rembulan mulai redup, sehingga kaum muslim yang ingin pergi ke masjid tidak terhalangi oleh gelapnya malam, bertujuan untuk mengingatkan orang-orang untuk beri’tikaf di masjid atau di mushalla untuk bertadarrus dan shalat malam. 

 Saat tradisi Tumbilotohe digelar, gemerlap lentera digantung pada kerangka–kerangka kayu yang dihiasi dengan janur kuning (Alikusu) atau hiasan yang terbuat dari daun kelapa muda yang menghiasi kota Gorontalo. Di atas kerangka digantung sejumlah pisang sebagai lambang kesejahteraan dan tebu sebagai lambang keramahan dan kemuliaan hati menyambut Hari Raya Idul Fitri. Semarak tumbilotohe dimanfaatkan untuk berkumpul pada malam hari dengan orang tua dan anak-anak, bersilaturahmi kepada sanak saudara, keluarga dan sahabat. Tak hanya warga Gorontalo, tetapi banyak juga masyarakat yang hadir dari luar kota Gorontalo demi menyaksikan kemeriahan Tumbilotohe. Tanah lapang yang luas dan daerah persawahan dibuat berbagai formasi dari lentera membentuk gambar masjid, kitab suci Al-quran, dan kaligrafi yang sangat indah dan mempesona. Tradisi Tumbilitohe juga menarik ketika warga Gorontalo mulai membunyikan meriam bambu atau atraksi bunggo dan festival bedug.

 Tradisi menyalakan lampu minyak tanah pada penghujung Ramadhan di Gorontalo, sangat diyakini kental dengan nilai agama. Masyarakat gorontalo mengekspresikan diri dalam mensunyikan jiwa dengan melaksanakan tradisi tumbilotohe yang disimbolkan dengan menyalakan tohe adalah wujud menyalakan jiwa yang telah dibersihkan pada saat melaksanakan puasa. Ekspresi relegius muncul setiap tahunnya untuk mempersipakan hari yang sangat penting yakni hari fitri. 

 Dalam perkembangnnya tradisi ini mengalami banyak perubahan. Pada awalnya tradisi ini menggunakan belahan buah papaya dan minyak kelapa dengan sumbu dari kapas, kemudian beralih ke bamboo dengan minyak tanah dan sumbu, namun kini banyak juga warga masyarakat yang memakai bohlam atau lampu pijar dalam melaksanakan tradisi itu. Pemasangan lampu itu pada perkembangannya ternyata tidak hanya dipasangsecara konvensional dengan berjejer di depan rumah, tetapi sudah banyak inovasi dan kreativitas, seperti di pasang dalam bentuk gapura atau model lainnya.

Adapun atribut yang dipersiapkan untuk digunakan pada perayaan:

a. Alikusu (gapura/gerbang pintu masuk). Alikusu diartikan sebagai tempat tinggal karena lampu-lampu yang diletakkan dalam keadaan menyala itu bermanfaat memberi penerangan agar tidak tersesat.

b. Lale-Lale (janur kuning). Secara filosofis, ketika ditiup angin membuat lale tersebut menari-nari dimaknai sebagai tanda kehadiran malam seribu bulan atau malam lailatulqadar.

c. Butulu-Butulu adalah botol kaca tempat lampu pijar diisi sumbu dan minyak tanah. Butulu simbol dari kekuatan hidup kala manusia harus tetap teguh dan sabar.

d. Tubu-Tubu (sumbu lampu) dimaknai sebagai jalan kehidupan yang berakar pada al-Qur’an. Tubu yang digambarkan dengan untaian benang merupakan cerminan umat Muslim Gorontalo yang kehidupannya untuk tetap lurus sesuai dengan ajaran dan larangan Allah swt seperti yang tercantum dalam al-Qur’an.

e. Polohungo-Polohungo adalah sejenis tanaman bunga yang dirangkai. Memiliki ragam warna yang diikat menjadi satu dan digantung pada alikusu. Polohungo dimaknai sebagai warna-warna proses kehidupan yang sudah terlewati dan terangkai dari perjalanan hidup manusia.

f. Patodu-Patodu (tebu) dimaknai sebagai pemanis. Mengambil nilai dari sifat patodu yang semakin tua rasanya akan semakin manis, maka hendaklah manusia juga mengikuti sifatnya tersebut. Patodu mengisyaratkan kepada umat muslim untuk selalu memperbaiki perilaku dan berhati-hati dalam bertutur kata.

g. Lambi-Lambi (pisang). Filosofi pisang adalah tumbuhan yang tidak mau mati sebelum dia berbuah. Dalam kehidupan manusia lambi dimaknai sebagai seorang manusia yang bersungguh-sungguh dalam pengabdiannya kepada Allah swt.

Referensi 

Freshi Kavita Sandy. (2018). BUSANA PESTA MALAM DENGAN SUMBER IDE TUMBILOTOHE PADA PERGELARAN BUSANA MOVITSME.

Ibrahim, S., Rusli, M., Sultan, I., & Gorontalo, A. (2022). Pemahaman Masyarakat Terhadap Lailah al-Qadr di Desa Teratai : Kajian Living Qur ’ an. 1(Januari), 13–27.

Wibawa, N. H. H. P., Yasin, Z., Hi, M., Husnan, H. M. I., & Mashadi, M. S. (n.d.). ISLAM.

Wibawa, N. H. H. P. (2018). RELEVANSINYA DENGAN KESUCIAN JIWA Oleh Nazar Husain hadi pranata wibawa Email nazarhusain80@gmail.com Abstrak A . Pendahuluan Tradisi tumbilotohe adalah adat istiadat atau kebiasaan pasang lampu pada tanggal ganjil bulan ramadhan menyongsong lailatul qada. 18(2), 158–180.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RITUAL YADNYA KASADA

PEMBAGIAN KELOMPOK GEMPITA 2023